Wednesday, February 9, 2011

Buku yang Tak Seindah Sampulnya…

Tak ubahnya gelombang panas yang di semburkan matahari siang ini begitu membara. Membuat kulitku perih terbakar. Terlebih aku bersama 2 sahabatku, Cita dan Rena, tengah berada didalam sebuah angkutan umum (angkot-red) yang berjejal sarat penumpang. Alamaak, pengap, panas, dan sesak menggelayutiku. Mau bagaimana lagi, tahan sajalah. Sementara 2 temanku yang duduk persis dihadapanku juga terlihat sama pasrahnya dan sama tidak nyamannya.
Tetapi Rena yang lebih terlihat tidak nyaman. Mata cantiknya yang kini menyipit marah itu tidak berhenti menghujam kenek angkot yang masih saja membujuk penumpang dengan obralan jurusan angkot. Padahal jika dilihat lagi, angkot buluk ini sudah sangat PENUH.
“Aduuh lama banget si bang,” gerutu Rena pada sopir angkot yang tengah asyik menghisap rokok kreteknya yang hanya bersisa sepuntung. Si sopir yang mendengarnya melirik dari arah kaca spion yang tidak besar itu dan tampak tak acuh dengan gerutu Rena. Aku melihat penumpang lain yang berada di dalam melihat kearah Rena yang sangat riweuh.
“Bawel deh lu, Ren. Si abang lagi kejar setoran kali,” tiba-tiba Cita menyahut. Suaranya keras sekali sampai Rena menutup telinga kanannya yang pekak karena berada tepat beberapa sentimeter dari sumber suara. Semua kepala yang ada didalam angkot serentak menoleh kearah Cita tanpa komando. Si sopir yang mendengar hanya tersenyum sinis. Terlihat wajah Rena yang sedari tadi masam kini lebih parah. Bibirnya ditekuk ke bawah dan alisnya bersatu.

Akhirnya si angkot butut itu melaju juga. Aku membuka jendela angkot yang berada tepat di kanan belakangku lebar-lebar agar angin segar dapat leluasa masuk mengusir rasa gerah yang sedaritadi menggerayang. Sedikit simpul senyum terkembang di wajahku saat menikmati segarnya angin yang berhembus. Sesekali aku melihat kea rah Rena dan Cita yang sibuk dengan handphone nya masing-masing. Sedikit kaku sekarang jika aku mengajak mereka bicara --terlalu banyak orang di angkot yang akan nguping obrolan kami meski tidak sengaja--. Yasudah, berteman saja dengan angin yang baik.
Sampai di tujuan, Taman Topi. Meski matahari tidak seterik beberapa waktu lalu aku masih merasa gerah melihat semrawutnya pasar. Menjauh sedikit dari pasar agak sedikit sepi dan mulai mencari “barang buruan”.
“Yang murah mah di depan stasiun, Ri,” celetuk Cita dengan logat Sundanya yang unik. Aku berfikir sejenak. Memperhatikan Cita dan Rena bergantian. Akhirnya aku menyetujui usul Cita dan mulai berjalan kea rah stasiun Bogor. Rena hanya cemberut saja mengikuti dari belakang.
Setelah menemukan yang dicari-cari kami memutuskan untuk beristirahat dan makan siang. Kebetulan di dekat tempat kami kini berjalan ada sebuah kedai mie yamin yang enak. Tanpa pikir panjang kami berjalan menuju tempat itu untuk mengadukan perut kami yang sudah berorasi sejak tadi.
Sampai di tujuan kami langsung duduk manis dan memesan 3 porsi mie yamin untuk memanjakan rasa lapar. Sambil menunggu pesanan, kami bercengkrama. Sampai ada seorang nenek tua pengemis yang menghampiri meja kami. Nenek tersebut begitu lusuh, suaranya lemah, mengiba meminta belas kasih. Aku memberinya beberapa lembar uang yang ada di sakuku. Begitupun Cita, tapi Rena tidak. Wajah nenek tersebut sumringah saat menerima uang kami dan berlalu sambil bergumam parau dan tidak jelas. Tapi aku mendengarnya sebagai doa.
“Ren, ko’ lu ngga ngasih sih?” Tanya Cita heran. Rena mendelik dan memalingkan pandangannya. Aku hanya memperhatikan. “Ngapaiin ngasih? Orang pengemis itu cuma pembohong doang. Bisa abis duit gue kalo tiap ada pengemis gue kasih. Saying mending gue pake shopping," tukasnya ketus. Aku dan Cita saling pandang. “Tapi kan mungkin aja nenek itu emang bener-bener pengemis yang butuh bantuan, Ren. Masa’ ngga mau ngasih sedikit?” sanggahku. Rena nampak tidak menganggap obrolan ringan kami serius. Tetapi tiba-tiba Cita mendekap wajah Rena erat sampai Rena terlihat gelagepan. Tak lama, Cita melepaskan tangannya. Keriuhan kecil tadi membuat orang-orang yang tengah asyik menikmati mie yamin mereka meluncurkan perhatian ke arah kami.
“Lu apa-apaan sih?” celetuk Rena dengan nada tinggi. Cita tersenyum sinis. Aku tak kalah bingung dengan kelakuan Cita, tapi aku lebih memilih diam dan memperhatikan.
“Uang lu itu sama kaya’ nafas lu,” gumam Cita sambil menyeruput es jeruknya. Aku dan Rena saling pandang tidak mengerti. “Maksud lu apa?” tanyaku penasaran. Cita melempar pandang ke arahku dan Rena bergantian.
“Gini yaaa gue kasih tau. Uang lu sama kaya nafas lu. Kalo nafas ditahan di paru-paru lu 5 menit aja, lu berdua kuat ngga?” Tanya Cita sambil mengacung-acungkan sumpitnya. Aku menggeleng pelan. “Nah, kalo kelamaan ditahan pasti sakit dan pasti bakal ada penakit kan?” Aku hanya mengangguk-angguk sambil berusaha menerka jalan pembicaraan kami yang sedikit mulai serius.
“Sama kaya’ uang. Makin lama kita tahan sendiri, makin banyak penyakit yang bakal datang ke kita. Penyakitnya itu penyakit hati. Lu berdua tau kan apa aja penyakit hati?” Aku dan Rena saling pandang. Rena dan aku mengangguk paham.
“Nah itu dia! Uang itu sama kaya’ oksigen yang harus kita hirup dan harus kita keluarin. Kita ngga perlu takut kehabisan uang untuk hal yang positif. Tuhan aja Maha Adil ko’. Oksigen yang udah kita pake nafas aja diganti sama oksigen baru sama Tuhan yang tersedia banyak di sekitar kita, uang kita juga sama kaya oksigen. Pasti dengan senang hati Tuhan ganti, malah bakal lebih banyak lagi, kalo kita donasikan untuk berbuat kebaikan dan ikhlas. Janji Tuhan itu nyata,” Cita mulai melahap mie yamin yang sedari tadi kami nanti. Aku bahkan lupa akan pesananku saat mendengar quotation yang terlontar dari temanku yang tidak pernah bisa serius.
“Oo biar dikit asal ikhlas ya kan, Cit?” aku berusaha menambahkan. Cita nyengir menaptaku.
“Lu salah, Ri. Yang bener biar banyak asal ikhlas. Kalo cuma sedikit ya pasti ikhlas lah. Yang jarang itu orang ngasih banyak tapi ikhlas,” celetuk Cita sambil tertawa kecil. Aku hanya melongo melihat Cita. Rena hanya diam, wajahnya terlihat menyesal. Aku tidak percaya yang baru saja bicara santai tapi sangat bermakna itu adalah teman baikku yang slengean.
Aku tersenyum. Aku malu pada diriku yang acap kali meremehkan Cita hanya karena ia tidak pernah bisa serius. 2 pelajaran berharga aku petik sekaligus di kedai mie yamin mungil ini dari obrolan santai aku dengan sahabat-sahabatku. Yaaaah, yang harus aku lihat adalah apa yang telah dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Yang sedang menyeruput mie yamin penuh nafsu --sekali tarik tanpa nafas-- itu adalah sahabatku Cita. Meski slengean dan usilnya setengah mati, tapiiiiiiiiii……………………CITA SAHABATKU YANG PALING KEREEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEN !!!!!

No comments: